Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

KH. Thoriq bin Ziyad Ajak Peserta Teguhkan Semangat Kebangsaan dan Persatuan

Selasa, 28 Oktober 2025 | Oktober 28, 2025 WIB Last Updated 2025-10-29T05:23:38Z

KabarPojokIndonesia.com
-- MALANG — Dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda sekaligus momentum refleksi Hari Santri, digelar Seminar Kebangsaan bertajuk “Merawat Spirit Santri dan Semangat Pemuda: Meneguhkan Persatuan untuk Indonesia Berdaulat” pada Selasa (28/10/2025) di Aula Kediaman Drs. Peni Suparto, M.A.P., Jatirejoyoso, Kepanjen, Kabupaten Malang.

Kegiatan ini menjadi wadah penting bagi generasi muda dan kaum santri untuk memperkuat nilai-nilai nasionalisme di tengah derasnya arus globalisasi dan digitalisasi. Hadir sebagai narasumber utama, KH. Thoriq bin Ziyad, S.Pd.I., Inisiator Hari Santri Nasional, serta KRA. Dwi Indrotito Cahyono, S.H., M.M., Presiden Direktur Kantor Hukum Yustitia Indonesia.

Seminar ini dipandu oleh Bung Farhan, S.Pd., Sekbid Media dan Propaganda, dengan dukungan penuh dari Drs. Peni Suparto, M.A.P., mantan Wali Kota Malang dua periode (2003–2008 dan 2008–2013), yang juga menjadi tuan rumah kegiatan.

Dalam pemaparannya, KH. Thoriq bin Ziyad mengajak para peserta untuk menelusuri kembali akar sejarah penyebaran Islam di Nusantara yang berlangsung secara damai dan berperadaban. Ia menuturkan, sejarah panjang peradaban Islam di Indonesia tidak lepas dari peran kerajaan-kerajaan Islam awal seperti Demak Bintoro, serta jaringan ulama yang kemudian dikenal sebagai Wali Songo.

“Kerajaan Demak Bintoro menjadi tonggak awal sistem Islam yang dipilih dan diterima masyarakat Jawa. Dari sinilah muncul perwalian, seperti Wali Songo, yang menyebarkan Islam bukan lewat peperangan, tapi lewat proses sosial yang penuh kebijaksanaan,” tutur Gus Thoriq.

Ia juga menyinggung sosok Sunan Giri (atau Sunandiri) yang memiliki peran besar dalam pendidikan Islam di masa awal Nusantara. Menurutnya, banyak pangeran dari berbagai kerajaan di Nusantara dikirim ke Gresik untuk belajar agama kepada Sunandiri, sebuah sistem pendidikan Islam yang menunjukkan keterbukaan dan penghargaan terhadap ilmu.

KH. Thoriq menegaskan, penyebaran Islam di Nusantara sejak abad ke-7 Masehi terjadi secara damai. Ia mengutip temuan sejarah di Aceh berupa nisan berbahasa Arab-Melayu yang diperkirakan berasal dari abad kedua Hijriah sebagai salah satu bukti masuknya Islam lebih awal ke kepulauan Nusantara.

“Kalau diuji karbon, nisan itu berasal dari abad kedua Hijriah, atau sekitar abad ketujuh Masehi. Itu berarti Islam sudah masuk ke Nusantara hampir bersamaan dengan masa keemasan ilmu hadis di dunia Islam,” ujarnya.

Lebih jauh, Gus Thoriq mengaitkan sejarah tersebut dengan kiprah Presiden Soekarno dalam membangun diplomasi Islam internasional. Ia menuturkan kisah bagaimana Bung Karno menunjukkan kecerdasan diplomasi spiritualnya dengan menolak undangan ke Rusia hingga ditemukan makam Imam Bukhari di Uzbekistan — ulama besar penyusun Shahih Bukhari, kitab hadis paling otoritatif setelah Al-Qur’an.

“Bung Karno menunjukkan betapa pentingnya warisan spiritual Islam bagi bangsa Indonesia. Ia tidak hanya berpikir politik, tapi juga menjaga hubungan dengan dunia Islam lewat nilai sejarah dan kebudayaan,” jelas Gus Thoriq.

Menurutnya, sejarah tersebut menjadi bukti bahwa nasionalisme Indonesia memiliki akar spiritual yang kuat, dan santri sejak dulu menjadi bagian penting dalam perjuangan kemerdekaan dan pembentukan karakter bangsa.

Dalam ulasannya yang sarat nilai sejarah, KH. Thoriq juga memaparkan hubungan erat antara kerajaan-kerajaan besar di Jawa seperti Demak Bintoro, Mataram Islam, dan pengaruh besar Madura sebagai pusat kekuatan militer Majapahit dan Mataram.

Ia menjelaskan bahwa pada masa Sultan Agung, kerajaan Mataram mampu menggabungkan kalender Jawa dan kalender Hijriah menjadi satu sistem penanggalan yang hingga kini digunakan masyarakat Jawa.

“Sultan Agung ini luar biasa. Ia berhasil menggabungkan dua sistem kalender — Jawa dan Hijriah — sehingga lahir tradisi-tradisi seperti muludan, suroan, dan bulan besar yang masih kita jalankan hingga sekarang,” ungkapnya.

Sultan Agung, lanjutnya, juga dikenal dengan keberhasilannya menaklukkan Madura, yang saat itu merupakan pusat kekuatan dan tempat berkumpulnya para prajurit pilihan Majapahit.

“Madura ini dulu menjadi benteng terakhir Majapahit. Ketika ditaklukkan Mataram, Sultan Agung memindahkan banyak tokoh pilihan ke Madura agar tetap terlindung dari pengaruh penjajahan,” katanya.

Gus Thoriq juga menambahkan bahwa pelabuhan-pelabuhan strategis di Surabaya dan Madura menjadi kunci penting dalam mempertahankan kedaulatan bangsa, bahkan hingga masa kemerdekaan.

“Satu-satunya pelabuhan yang tidak bisa dikuasai penjajah Belanda hingga kemerdekaan adalah Surabaya dan Madura. Dari sinilah muncul semangat Resolusi Jihad dan peristiwa heroik 10 November yang kita kenal sampai hari ini,” tegasnya.

Melalui paparan sejarah tersebut, Gus Thoriq ingin menegaskan bahwa santri dan pemuda memiliki peran strategis dalam menjaga moral, kebudayaan, dan kedaulatan bangsa. Ia mengajak seluruh generasi muda untuk meneladani nilai perjuangan para ulama dan leluhur, serta tetap berpegang pada prinsip keislaman dan kebangsaan di tengah gempuran budaya global.

“Santri dan pemuda hari ini harus sadar bahwa perjuangan belum selesai. Penjajahan bukan lagi lewat senjata, tapi lewat pikiran, budaya, dan teknologi. Maka kita harus menyiapkan diri dengan ilmu, iman, dan semangat kebangsaan,” pungkas Thoriq bin Ziyad

Reporter : M. Abdul R 

Editor : Matnadir
TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update